Atlantis Indonesia

Sejarah Desa Watukura

Sejarah Desa Watukura.

Sebelum saya paparkan tentang Desa Watukura, terlebih dahulu saya sampaikan tentang BAGELEN yang dikenal dan disegani. Bagelen merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Purworejo.

Bagelen ternyata pada zaman kerajaan dulu pernah sangat populer. Bukan hanya di wilayah Jawa, namun kepopulerannya hingga se-nusantara.

Tanah Bagelen merupakan suatu kawasan luas di Jawa Tengah Selatan yang struktur birokrasi pada masa Kerajaan Mataram (Kertasura) termasuk daerah yang disebut “Negara Agung” dan merupakan daerah di sekitar (ommelanden) Kutagara.

Berdasarkan Serat Pustaka Raja Puwara, tanah Bagelen termasuk inti kerajaan yang wilayahnya dibagi menjadi delapan daerah dari Urut Sewu (sekarang kecamatan Bagelen) antara sungai Bogowonto sampai sungai Donan Cilacap.

Tanah Bagelen termasuk inti kerajaan. Tanah Bagelen merupakan bagian penting kerajaan Mataram karena pada saat Sutawijaya atau Raden Ngabehi Lering Pasar dan anak angkat Sultan Pajang, serta Adiwijaya membuka hutan Mataram sekitar tahun 1532 telah mengikat persaudaraan dengan 200 Mantri Pamejegan dan Kenthol Bagelen yang berniat Bulu Bekti ke Pajang.

Selain itu, di Bagelen khususnya di wilayah Purworejo terdapat sebuah desa Benowo yang diambil dari nama Pangeran Benowo Putera Sultan Pajang yang bergelar Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama.

Berdasarkan penelitian sejarahwan senior Purbacaraka, nama “Bagelen” berasal dari kata “Galuh” atau “Pagaluhan”, masuk wilayah kerajaan Galuh.
Bukti lain kepopuleran Bagelen juga ditunjukkan hasil penelitian sejarah purbakala yang menemukan bahwa salah seorang Raja Mataram Kuno terbesar, Dyah Balitung Watukura berasal dari Bagelen.

“Ditandai dengan adanya desa bernama Watukura (sekarang masuk kecamatan Purwodadi) di muara sungai Bogowonto.
Dyah Balitung adalah raja kesembilan Kerajaran Mataram Kuno. Itu menurut silsilah dalam prasasti Mantyasih (907 M) dan raja ke 13 menurut silsilah prasasti Wanua Tengah III (908 M). Kedua prasasti itu dikeluarkan oleh raja Balitung sendiri semasa memerintah Mataram Kuno. Dia bergelar Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu.
Awalnya Dyah Balitung merupakan seorang pangeran dari Kedu Selatan, yaitu Watukura.

Sebelum menjadi raja, dia sebagai rakai di Watak Watukura yang bergelar Haji. Watak Watukura merupakan satu wilayah Mataram Kuno yang lokasinya cukup jauh dari pusat kerajaan.
Watak sendiri diartikan sebagai wilayah atau jenjang administrasi semasa pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno di bawah kerajaan (rajya) dan di atas desa (wanua).

Watak terdiri atas kumpulan beberapa desa yang membentuk federasi. Watak dipimpin oleh seorang Rakai atau Raka. Sedang desa dipimpin oleh Rama dan Rajya dipimpin oleh Maharaja.
Di Desa watukura, telah ditemukan dua buah lumpang batu di dekat sungai Bogowonto yang dalam naskah Bhujangga Manik yang ditulis sekitar abad XV atau awal abad XVI M sungai tersebut disebut CI Watukura.

Meskipun Balitung adalah raja besar, namun sebenarnya dia bukanlan pewaris tahta yang sah. Dyah Balitung naik tahta karena pernikahannya dengan anak Rakai Watuhumalang, penguasa Mataram sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari gelar rakai yang dipakai seperti yang dikatakan dalam prasasti Mantyasih (Magelang), sebab pada waktu menikah ia masih bergelar “haji” atau raja bawahan.

Gelar Dharmma pada nama Balitung menunjukkan dia adalah raja yang naik tahta karena perkawinan. Diduga prasasti Mantyasih merupakan prasasti yang dibuat Balitung untuk melegitimasi kedudukannya sebagai raja. Di sana ditulis genealogi raja-raja Mataram Kuno sejak Sanjaya hingga Balitung.

Berdasarkan prasasti yang dikeluarkan oleh raja Dyah Balitung, sistem perekonomian telah tertata baik. Bahkan dalam prasasti Ayam Teas yang menyebutkan Dyah Balitung sebagai Sri Maharaja dan bertiti masa 822 saka atau tahun 900 M, disebutkan desa Ayam Teas yang dijadikan sebagai tanah perdikan sebagai tempat pedagang. Tempat tersebut tidak diperbolehkan dilewati oleh para petugas pajak.

Dan hanya 3 pejabat dari setiap daerah bebas yang diperbolehkan membawa secara bebas 20 ekor kerbau, 40 ekor sapi, 80 ekor kambing dan telur satu kandang dalam kendaraan. Dengan demikian jelaslah bahwa pada masa kekuasaan Dyah Balitung selain pertanian dengan sistem irigasi, tata niaga, peternakan, kerajinan dan perpajakan juga sudah berjalan secara teratur.

Dalam prasasti Panunggalan (818 saka) disebutkan haji Rakai Watuhumahang memberi anugerah kepada Dapunta di Kabikuan Panunggalan atas hak perdikan tanah daerah mereka. Jika benar Dyah Balitung itu anak Watuhumahang, maka kesimpulannya dia merupakan anak seorang haji bukan anak Sri Maharaja. Menurut Purbacaraka kata “dharma” (dharmmadaya mahasambhu) ditafsirkan merupakan gelar dengan kata tersebut adalah raja yang naik tahta karena perkawinan. Dalam prasasti Kubu-kubu (827 saka) tentang peresmian kubu-kubu menjadi sima, diuraikan pimpinan upacara wedhati dan makudur antara lain membanting telur dan memanggal leher ayam.

Dalam tahun 899 Dyah balitung sudah memakai Abhiseka Sri Dharmmodaya Mahasambhu, sedangkan perkawinannya disebutkan pada prasasti 907, maka tidak mungkin perkawinan itulah yang menyebabkan dirinya menggunakan gelar. Gelar tersebut menagndung arti “ yang kebajikannya selalu meningkat dan yang maha pemurah” sehingga mungkin gelar itu dipakai karena Dyah Balitung yang berhasil membawa keluarga raja yang dipimpinnya ke puncak kekuasaan. Dyah Balitung semakin meluaskan kekuasaan sehingga kemudian bergelar Sri Iswarakesawotsawatungga atau Sri Iswarakesawasamarattungga yang artinya yang terkemuka dalam peperangan yaitu siwa dan wisnu.

Pada akhir kekuasaannya dia bergelar “Garuda Muka” seperti yang disebutkan dalam prasasti Tulanan (832 saka). Mungkin saja gelar itu berkaitan dengan wisnu yang dianggap sebagai tokoh pembebas.

Kerajaan Medang Bhumi Mataram ketika diperintah oleh Raja Dyah Balitung Rakai Watukura kekuasaannya mencakup wilayah yang sangat luas. Meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur hingga ke pulau Bali.

Dan kerajaan tersebut dikenal juga dengan nama “Galuh”. Kehidupan kerajaan Mataram pada masa itu belum banyak terungkap. Namun dari beberapa relief yang ditemukan di candi- candi di Jawa Tengah banyak yang mencerminkan kebesaran kerajaan tersebut seperti : Borobudur dan Prambanan.

Dalam sejarah Mataram Kuno, telah ada hubungan diplomatik dengan luar negeri seperti yang terungkap dalam kronik dan catatan Tiongkok.
Dalam sejarah Rajakula Tang (Hsin tang Shu) tahun 618-906 M, dan sejarah Rajakula Sung tahun 906-1279 M diperoleh keterangan tentang keadaan di Jawa Tengah pada waktu itu. Di dalam Hsin Tsing shu disebutkan bahwa raja tinggal di Cho’Po tetapi moyangnya yang bernama “ki- yen” berpindah ke timur ke Pu- Lu- Kia –Seu.

Di sekitarnya ada 28 kerajaan kecil yang tunduk. Ada 32 pejabat tinggi yang salah satunya Ta Tso Kanhiung. Dalam catatan dinasti Sung disebutkan tiga putera raja menjadi pembantu- pembantu raja. Mereka bersama- sama mengurus soal pemerintahan bersama empat pejabat kerajaan yang bergelar Rakyan. Mereka mempunyai penghasilan tetap, dan sesekali mereka juga memperoleh hasil bumi. Disamping itu juga ada 300 pejabat sipil yang dianggap sejajar dengan “siu- tsai” di Tiongkok. Mereka bertugas mencatat penghasilan kerajaan, mereka juga mempunyai kira- kira 1000 pegawai rendahan yang bertugas mengurus benteng dan parit kota, dan lumbung- lumbung kerajaan.

Para prajurit, panglima perang masing-masing mendapat 10 tail emas tiap setengah tahun. Dan ada 30.000 prajurit yang dibayar setengah tahun sekali sesuai dengan pangkat masing- masing.
Dyah Balitung Rakai Watukura berkuasa antara 899-910 masehi. Menurut profesor Purbacaraka Dyah Balitung adalah seorang pangeran yang berasal dari Kedu selatan (Bagelen), sebab nama Watukura dijadikan gelar pelungguhannya dan tempat tersebut merupakan nama sungai yang ada di tanah Bagelen.

Dari 38 prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Dyah Balitung diketahui bahwa beliau mempunyai 4 gelar yaitu :

1. Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu

2. Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawasamarattungga

3. Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawotsawatungga

4. Janardanottungga Dyah Balitung

Sumber :

https://masraharjo.wordpress.com/2009/12/28/sejarah-desa-watukura/

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Balitung

Exit mobile version