Atlantis Indonesia

Journal

Journal: Mbah Gotho, ‘Manusia Abadi’ dari Sragen.

Alunan tembang Jawa dari radio klasik merayap ke seluruh ruangan rumah permanen berdinding bata belum berplester di Dusun Segeran, Desa Cemeng, Kecamatan Sambungmacan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Senin (12/9/2016). Seorang pria berkulit cokelat legam dan keriput berbaring di atas dipan kayu beralas tikar plastik yang diletakkan di tengah ruangan menjadi pendengar tunggal hiburan tersebut. Setiap malam, Sodimejo alias Mbah Gotho mendengarkan musik tradisional tersebut sebagai pengantar tidur.

Suryanto (46), yang tak lain merupakan cucunya, dengan setia mencarikan frekuensi radio yang menyiarkan lagu khas Jawa atau dangdut, jika Mbah Gotho sudah terlihat mengantuk. Irama nada dan cengkokan suara penyanyi menjadi pengantar Sodimejo terlelap.

“Mbah kalau mau tidur memang harus mendengar musik. Biasanya saya atau istri nempelin speaker di kupingnya. Nanti lama-lama tidur,” kata Suryanto kepadaLiputan6.com di kediamannya.

Mbah Gotho kini dikenal lantaran disebut sebagai manusia tertua di abad 21. Dalam kartu tanda penduduk yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Sragen, Sodimejo lahir pada 31 Desember 1870. Ini berarti, Mbah Gotho sudah lebih dulu lahir sekitar 7,5 dekade sebelum Presiden Soekarno mengumandangkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Sejatinya, tak ada yang tahu betul kapan Sodimejo dilahirkan, termasuk keluarganya. Suryanto mengatakan, tanggal dan tahun kelahiran yang tertera dalam KTP Mbah Gotho, dicantumkan berdasarkan keterangan kakeknya. Saat itu, kata dia, petugas dari Dukcapil tengah mendata orang-orang sepuh di kampungnya. Singkat cerita, kata dia, Mbah Gotho menyebutkan tanggal 31 Desember kepada petugas.

“Mbah sendiri yang katakan. Sebenarnya kami juga enggak tahu dia lahirnya tanggal berapa. Mbah cuma ingat, waktu kecil diberi nama Saparman sama orangtuanya, karena lahir Hari Kamis Legi, bulan Sapar,” tutur Suryanto.

Apa jadinya jika orang yang diberi umur panjang ingin cepat-cepat mati?

Ihwal tahun kelahiran Mbah Gotho, kata Suryanto, itu dituliskan petugas. Kepala Dinas Dukcapil Kabupaten Sragen Wahyu Lwiyanto tak menampik soal itu. Dia mengaku, ada alasan kenapa Mbah Gotho dituliskan lahir pada 1870. Wahyu menyebut, pembangunan pabrik gula Gondang menjadi dasar tahun kelahiran Mbah Gotho.

“Beliaunya menceritakan saat berusia 10 tahun, dia menunggui pembangunan pabrik gula Gondang. Pabrik gula itu sendiri dibangun tahun 1880,” ucap Wahyu kepada Liputan6.com.

Kemunculan Manusia Abadi.

Pencatatan tahun dalam KTP Mbah Gotho, memang belum diverifikasi lebih lanjut. Namun Bupati Sragen Yuni Sukowati mengaku dirinya justru bangga dengan keberadaan Mbah Gotho. Dia pun bersyukur Mbah Gotho masih sehat wal afiat. Apalagi, kabar soal Mbah Gotho kini sudah mendunia dan menyedot perhatian banyak pihak.

Bagi Yuni, keberadaan Mbah Gotho memberikan angin segar untuk Sragen, Menurut dia, Mbah Gotho menjadi pembuka langkah Pemerintah Kabupaten Sragen untuk menata sejumlah hal, termasuk aspek pariwisata, yang diprediksi naik lantaran kabar keberadaan orang tertua di dunia. “Sekarang diawali dengan adanya Mbah Gotho. Ini suatu langkah yang baik,” ujar Yuni kepadaLiputan6.com di Kantor Bupati Sragen, Jalan Sukowati, Sragen, Jawa Tengah, Selasa (13/9/2016).

Namun di sisi lain, Yuni menyadari, pengakuan tentang usia ini bisa jadi polemik. Menurut Yuni, perlu ada verifikasi atas keterangan yang disampaikan Mbah Gotho soal usianya. “Untuk melihat sejauh mana kebenarannya beliau ini benar berusia 145 tahun,” ujar Yuni.

Yuni menyadari, banyak hal yang dilupakan Mbah Gotho. Seperti letusan Gunung Lawu yang terjadi pada 1885. Jika merujuk ke tahun lahir, Mbah Gotho berusia 15 tahun kala itu. Sebaliknya, Mbah Gotho hanya mengingat peristiwa berdirinya pabrik gula Gondang, pada 1880. Ini menjadi masalah buat Yuni. Sebab, dirinya berkeinginan mendaftarkan Mbah Gotho sebagai orang tertua di dunia ke lembaga pencatat rekor tingkat dunia,The Guiness Book of World Records.

Keinginan Yuni ini sejalan dengan keinginan Museum Rekor Indonesia (MURI). Senior Manager MURI, Yusuf Ngadri, mendukung langkah Pemkab Sragen memverifikasi usia Mbah Gotho. Menurut Yusuf Ngadri, pihaknya bersedia memberikan sertifikat orang tertua di Indonesia kepada Mbah Gotho, asalkan ada catatan atau bukti yang menguatkan usia tersebut. “Kami butuh verifikasi,” kata Yusuf Ngadri.

Terkait pencatatan tahun kelahiran, Kadis Dukcapil Kabupaten Sragen Wahyu Lwiyanto, mengakui pencatatan tak dilakukan sembarangan. Menurut Wahyu, pihaknya sudah memverifikasi keterangan Mbah Gotho dengan keterangan dari sejumlah warga sekitar. Apalagi, Mbah Gotho punya pengakuan berusia 10 tahun saat Pabrik Gula Gondang dibangun. “Itu menjadi dasar kami, jadi kami bisa menerbitkan sebagai alat administrasi kependudukan, data real kependudukan Mbah Gotho,” kata Wahyu.

Sudah Tua Sejak Lama.

Riuh ramai kabar usia Mbah Gotho sudah lama diketahui warga Dusun Segeran. Warga bahkan sudah sangat yakin, Mbah Gotho memang hidup “abadi”. Lelaki tua yang mereka kenal saat ini, sudah tua sejak lama. Itu seperti keterangan dari Naryo, tetangga satu kampung Mbah Gotho.

Menurut lelaki 40 tahun ini, Mbah Gotho sudah dewasa saat kakeknya masih kecil. Padahal, kata dia, kakeknya sudah wafat pada 2010, di usia 115 tahun. Keterangan kakeknya itu yang kini masih dikenang Naryo. “Waktu kakek saya masih kecil, Mbah Gotho sudah tua,” ucap Naryo.

Naryo pun mendengar kakeknya menceritakan Mbah Gotho jago menyelam. Di masa lalu, Mbah Gotho terkenal jago menyelam untuk menangkap ikan. Kebiasaan menangkap ikan itu sudah dilakukan Mbah Gotho sejak muda hingga dia berusia sekitar 80 tahun. Cerita ini juga diungkapkan Parno Partowiyono, ketua RT di Dusun Segeran, yang kini berusia 61 tahun.

Menurut Parno, dia sempat berguru mencari ikan kepada Mbah Gotho. Kala itu, kata dia, dirinya berusia 25 tahun dan biasa menyelam mencari ikan di Sungai Bengawan Solo. Parno masih ingat, Mbah Gotho kala itu sudah renta. Fisiknya kira-kira seperti kakek berusia 80 tahun. Namun, Mbah Gotho masih kuat menyelam di dalam air.“Badannya masih segar bugar, kuat. Masih kuat nyelam. Saya diajari caranya supaya lama bertahan nyelam, tapi saya tetap saja enggak bisa,” ucap Parno.

Mbah Gotho tak menampik dua cerita dari tetangganya itu. Dia masih sedikit ingat potongan cerita di masa lalunya, yang dikenal warga sebagai penyelam handal. Salah satu potongan cerita yang paling diingatnya saat menyelam adalah bertemu dengan makhluk astral.

Selain cerita dikerjai makhluk halus, Mbah Gotho sangat mengingat peristiwa pembangunan dan peresmian pabrik gula di Kedungbanteng. Peristiwa itu menjadi hal yang paling berkesan buat Mbah Gotho. “Saya sudah perjaka itu. Yang meresmikan itu Raja Solo. Saya ikuti (rombongan Raja) dari belakang,” ucap Mbah Gotho.

Merawat Mbah Gotho.

Selama masa hidupnya, Mbah Gotho sudah empat kali menikah. Dia memiliki lima anak dan 17 cucu. Sebelum tahun 1993, Mbah Gotho dirawat Sukinem, anak dari istri keempatnya, Rayem. Sukinem kemudian meninggal pada 1993. Saat itu, Mbah Gotho nyaris hidup sebatang kara. Hingga, Suryanto yang merupakan anak Sukinem datang memutuskan untuk menjaga Mbah Gotho.

Suryanto tak merasa keberatan untuk menjaga kakeknya. Menurut dia, dirinya bersama istri dan dua anaknya sangat senang bisa merawat Mbah Gotho. Apalagi, kata dia, Mbah Gotho tak pernah sakit dan sangat mandiri. Suryanto ingat pengalaman pertama saat membawa Mbah Gotho ke rumahnya. Dia bilang, kakeknya kerap jalan-jalan sendirian atau mengurus pekarangan buat sekadar mengisi waktu kosong. “Waktu pertama kali Si Mbah tinggal sama saya, kondisi fisiknya masih sehat, prima. Dia orang yang kuat,” tutur Suryanto.

Saat dijumpai dokter bersama Liputan6.com, Mbah Gotho tampak sehat. Meski staminanya sudah menurun, Mbah Gotho masih lancar berkomunikasi, makan es krim, dan merokok. Hanya saja, fisiknya tak dapat berbohong. Lelaki tua ini sudah kehilangan penglihatan, mengalami keterbatasan pendengaran, dan tidak mampu berjalan jauh.

Seperti perawakan lansia pada umumnya, tulang punggung Mbah Gotho tak lagi tegap. Setiap ingin berdiri atau berjalan, dia harus menggenggam erat tongkat kayu sepanjang satu meter, untuk menopang berat tubuhnya. Ini sedikit membuat Suryanto dan Suwarni, istrinya, khawatir. Keduanya takut jika kakeknya terjatuh. “Karena penglihatannya berkurang, Mbah jadi harus dibantu kalau mau apa-apa,” ujar Suryanto.

Setiap pagi, Mbah Gotho memulai aktivitas dengan mandi pagi sekitar pukul 07.00 WIB. Lantaran sudah renta, Mbah Gotho harus dimandikan Suryanto dan Suwarni. Selepas mandi, Mbah Gotho akan duduk di depan rumah untuk merokok dan mengobrol dengan tetangga. Mbah Gotho pun tak marah jika dirinya harus ditinggal seorang diri di rumah. Sebab, Suryanto dan Suwarni harus pergi ke pasar untuk berjualan dan dua cicitnya, Anisa dan Erika, harus bersekolah.

Lelaki tua yang punya hobi menyelam di masa mudanya ini, akan menunggu mereka pulang. Biasanya, banyak tetangga yang datang saat Mbah Gotho berdiam sendirian. Menurut Suryanto, kedatangan tetangga jadi kesenangan tersendiri buat kakeknya. Sebab, Mbah Gotho sangat senang jika ada tamu yang datang buat mengajaknya ngobrol. Ini kadang jadi masalah buat Suryanto dan Suwarni.

“Kalau dia tahu ada banyak orang, ya kita suruh, ‘Ayo Mbah, mandi atau istirahat’, tidak mau. Katanya tidak sopan, masih ada tamu. Makanya kadang kami bohongin saja, ‘Tamu’e wis muleh (tamunya sudah pulang), Mbah’. Kalau tidak ya tidak mau mandi atau istirahat,” kata Suryanto.

Sumber :

http://m.liputan6.com/news/read/2605370/journal-mbah-gotho-manusia-abadi-dari-sragen

Exit mobile version