Makna Tembang Macapat. …

Makna Tembang Macapat.

“Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu.”

Triwikrama.

Triwikrama adalah tiga langkah “Dewa Wisnu” atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses penitisan. Awal mula kehidupan dimulai sejak roh manusia diciptakan Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri yang jenjem jinem, dinamakan sebagai zaman kertayuga, zaman serba adem tenteram dan selamat di dalam alam keabadian.

Di sana roh belum terpolusi nafsu jasad dan duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh “setan” (nafsu negatif). Dari alam keabadian selanjutnya roh manitis yang pertama kali yakni masuk ke dalam “air” sang bapa, dinamakanlah zaman tirtayuga.

Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati sang bapa kemudian menitis ke dalam rahim sang rena (ibu). Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam zaman dwaparayuga.

Sebagai zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma adalah berbadan cahya lalu mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang Bapa mengukir jiwa dan sang rena yang mengukir raga. Selama 9 bulan calon manusia berproses di dalam rahim sang rena dari wujud badan cahya menjadi badan raga. Itulah zaman keanehan atau dwaparayuga. Setelah 9 bulan lamanya sang Dewa Wisnu berada di dalam zaman dwaparayuga.

Kemudian langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya.

Panitisan terakhir Dewa Wisnu ke dalam zaman mercapadha. Merca artinya panas atau rusak, padha berarti papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat yang panas dan mengalami kerusakan. Disebut juga sebagai Madyapada, madya itu tengah padha berarti tempat. Tempat yang berada di tengah-tengah, terhimpit di antara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum kelahiran dan gaib setelah ajal.

Kidung Panguripan.

“Saka Guru”

Nah, di zaman Madya atau mercapadha ini manusia memiliki kecenderungan sifat-sifat yang negatif. Sebagai pembawaan unsur “setan”, setan tidak dipahami sebagai makhluk gaib gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan dari nafsu negatif yang ada di dalam segumpal darah (kalbu).

Mercapadha merupakan perjalanan hidup PALING SINGKAT namun PALING BERAT dan SANGAT MENENTUKAN kemuliaan manusia dalam KEHIDUPAN SEBENARNYA yang sejati abadi azali.

Para perintis bangsa di zaman dulu telah menggambarkan bagaimana keadaan manusia dalam berproses mengarungi kehidupan di dunia selangkah demi selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat (membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati.

Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap insan. Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming, namun dapat menjadi pepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup manusia. Berikut ini alurnya :

1. Mijil.

Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi.

Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa tinulis.

Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.

2. Maskumambang.

Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang.

Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.

3. Kinanti.

Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya.

Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.

4. Sinom.

Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walaupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah.

Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah kaprah.

5. Dhandanggula.

Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana.

Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia.

Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira.

Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.

6. Asmaradana.

Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya.

Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda.

Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang guru laku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah memanfaatkan waktu.

Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.

7. Gambuh.

Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar.

Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati.

Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi.

Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati.

Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.

8. Durma.

Munduring Tata Krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati, Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon).

Sebut saja misalnya : duraatmoko, duroko, dursila, dura sengkara, duracara (bicara buruk), durajaya, dursahasya, durmala,durniti, durta, durtama, udur, dst.

Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain.

Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati.

Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.

9. Pangkur.

Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji.

Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!

10. Megatruh.

Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali. Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga.

Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi.

Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana.

Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata.

Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling pintar, namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri. Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!

11. Pocung.

Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi.

Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.

Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi.

Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.

Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati.

Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput.

Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan. Malah-malah yang suka menuduh menjadi tertuduh.

Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati.

Jangan suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.

12. Wirangrong.

Hidup di dunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah dan bencana. Namun manusia bertugas untuk merubah semua itu menjadi anugrah dan bahagia.

Manusia harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang lain. Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada sesama. Hidup yang penuh cinta kasih sayang, bukan berarti mencintai dunia secara membabi-buta, namun artinya manusia harus peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan bagi sesama manusia lainnya, bagi makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya. Itulah nilai kebaikan yang bersifat universal. Sebagai wujud nyatahamemayu hayuning bawana, rahmatan lil alamin.

Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad sudah masuk ke liang lahat (ngerong). Wirangrong, Sak wirange mlebu ngerong, berikut segala perbuatan memalukan selama hidup ikut dikubur bersama jasad yang kaku.
Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya dirasakan oleh anak, cucu, dan menantu. Jika kesadaran terlambat manusia akan menyesal namun tak bisa lagi bertobat. Tidak pandang bulu, yang kaya atau melarat, pandai maupun bodoh keparat, yang jelata maupun berpangkat, tidak pandang derajat seluruh umat.

Semua itu sekedar pakaian di dunia, tidak bisa menolong kemuliaan di akherat. Hidup di dunia sangatlah singkat, namun mengapa manusia banyak yang keparat. Ajalnya mengalami sekarat. Gagal total merawat barang titipan Yang Mahakuasa, yakni segenap jiwa dan raganya.

Jika manusia tak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat, dan kepada seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan laknat. Pakaian itu hanya akan mencelakai manusia di dalam kehidupan yang sejati dan abadi.

Orang kaya namun pelit dan suka menindas, orang miskin namun kejam dan pemarah, orang pandai namun suka berbohong dan licik, orang bodoh namun suka mencelakai sesama, semua itu akan menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi.

Datanglah penyesalan kini, semua yang benar dan salah tak tertutup nafsu duniawi. Yang ada tinggalah kebenaran yang sejati. Mana yang benar dan mana yang salah telah dilucuti, tak ada lagi secuil tabir pun yang bisa menutupi. Semua sudah menjadi rumus Ilahi.

Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di alam yang sejati dan hakiki, namun ia akan merana, menderita, dan terlunta-lunta. Menebus segala dosa dan kesalahan sewaktu hidup di planet bumi.

Lain halnya manusia yang berguna untuk sesama di alam semesta, hidupnya di alam keabadian meraih kemuliaan yang sejati. Bahagia tak terperi, kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak hati. Ibarat “lepas segala tujuannya” dan “luas kuburnya”. Tiada penghalang lagi, seringkali menengok anak cucu cicit yang masih hidup di dimensi bumi. Senang gembira rasa hati, hidup sepanjang masa di alam keabadian yang langgeng tan owah gingsir.

Sumber :

https://sabdalangit.wordpress.com/2009/06/01/makna-tembang-macapat/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Macapat

Leave a Reply

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Close