Atlantis Indonesia

Orang Tionghoa Membawa Islam ke Indonesia. …

Perdebatan tentang siapa pembawa agama Islam ke Indonesia di kalangan sejarahwan masih terus berlangsung. Namun pakar sejarah, Widyo Nugrahanto dalam bedah buku Orang-Orang Tionghoa dan Islam di Majapahit karangan Adrian Prakasa yang dilaksanakan Forum Kebudayaan Tionghoa di Universitas Maranatha Bandung, Jumat (5/10/12) menyatakan, sesuai teori China maka Islam masuk ke Indonesia dibawa orang-orang Tionghoa.

Munculnya Teori China, lanjutnya, didasarkan atas penugasan seorang investigator Belanda bernama Poortman untuk mencari tahu mengapa dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda Rande Fatah disebut Jimbun. Ternyata dari hasil investigasinya, Poortman menemukan Naskah Berita China di Kelenteng Sam Po Kong dan Kelenteng Talang di Cirebon.

Penemuan itu kemudian dituliskan sebagai pengantar dan saran kepada Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1928 yang bersifat Geheim Zeer Geheim (sangat rahasia-red) dengan keterangan Uitsluitend voor Dienstgebruik Ten Kantore (hanya untuk kepentingan/pelayanan kantor – red).

Hasil penemuan ini kemudian disimpan di Kantor Arsip Nasional di Den Haag Belanda dan salinannya dikirim kepada temannya Sutan Matua Radja Parlindungan. Kopian ini lantas diberikan kepada anaknya Mangaradja Onggang Parlindungan dan dicantumkan dalam bukunya berjudul Tuanku Rao tahun 1962.

Oleh Slamet Mulyana, kopiannya digunakan sebagai sumber bukunya berjudul runtuhnya kerajaan Hindu Jawa dan munculnya Negara-Negara Islam di Nusantara tahun 1968. Kemudian diteliti oleh De Graff dan The Pigeaud dan dituliskan dalam bukunya berjudul Cina Muslim di Jawa Abad 15 dan 16 antara Historisitas dan Mitos tahun 1974. “Sayangnya dua buku yang terbit tahun 1962 dan 1968 itu dibredel, karena mengungkapkan kalau Islam di bawa orang-orang Tionghoa muslim,” ujar Widyo.

Cheng Ho.

Dia lantas menjelaskan kalau Teori China ini saling berkaitan dengan beberapa naskah kuno diantaranya, Yi Ya Sheng Lan (Pemandangan Indah di Seberang Lautan) karya Ma Huan yang diperkirakan pada tahun 1451 M, naskah Xing Cha Sheng Lan (Menikmati Pemandangan Indah dengan Kapal Sakti) karya Fei Xin tahun 1436 M, naskah Xi Yang Chao Gong Dian Lua (Upeti-upeti dari Samudera Barat) karya Huang Shengzeng tahun 1520 M. Adapun isi dari Berita China di Kelenteng Sam Po Kong dan Kelenteng Talang itu intinya adalah tentang pelayaran Cheng Ho (Sam Po Bo), Orang-orang Tionghoa muslim di Nusantara setelah pelayaran Cheng Ho pada masa Majapahit.

Berdirinya kerajaan Demak dan runtuhnya kerajaan Demak, Komunitas muslim Tionghoa di Cirebon, dan berdirinya kerajaan Cirebon. Hal ini dipertegas oleh nama-nama tokoh yang ada dalam naskah kuno kronik berita Tionghoa di kelenteng Sam Po Kong dan Kelenteng Talang. Di kelenteng Sam Po Kong misalnya ditemukan nama Jin Bu, Bong Swi Hoo, Sam Po Bo, Cen Su Yi, Ma Hwan, Feh Cin, Bon Tak Keng, Gan Eng Chu, Ma Hong Fu, Swan Liong, Gang Eng Wan, Kin San dan Gan Si Cheng.

Selain itu di kelenteng Sam Po Kong ada juga nama-nama non Tionghoa yang diduga “di-Cinakan” seperti, Su King Ta (Suhita), Kung Ta Bu Mi (Kertabumi), A Lu Ya (Arya), Yang Wi Si Sa (Hyang Wi Se Sa), Pa Bu Ta La (Prabu Udara), Ja Tik Su (Jafar Sodik), Yat Sun (Yunus/Pati Unus), Tung Ka Lo (Trenggono), Muk Ming (Mukmin), Ji Pang Kang (Gubernur Jipang), Peng King Kang (Gubernur Penging). Sedangkan nama-nama Tionghoa dalam naskah kuno kronik China di Kelenteng Talang Cirebon ditemukan nama Kung Wu Ping, Tan Eng Hoat, Tan Sam Cai dan Kung Sem Pak.

Mengenai buku yang ditulis Adrian Perkasa, Widyo menilai, kalau buku tersebut sangat menarik karena jelas menunjukkan sebagian besar orang Islam di ibukota Kerajaan Majapahit adalah Tionghoa muslim dengan menunjukkan bukti-bukti arkeologi berupa nisan atau jirat di makam-makam Troloyo dan arca-arca terakota orang Tionghoa.

Kemudian bukti-bukti arkeologi ini dikolaborasikan dengan naskah-naskah kuno (fisiologi) yang se-zaman. Keistemewaan lain dari buku tersebut adalah, penafsiran baru terhadap terjemahan prasasti Canggu yang menyatakan adanya pengakuan hak istimewa berupa ibadah lima waktu kepada kelompok pedagang dalam hal ini Tionghoa muslim. Jika penafsiran ini benar, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Hal menarik lainnya dalam buku Adrian adalah keberaniannya mewacanakan sesuatu yang pernah dilarang di zaman Orde Lama maupun Orde Baru, tentang teori China dalam penyebaran Islam di Indonesia. Mengenai hal itu, Adrian menjelaskan kalau buku yang ia tulis itu bersumber dari hasil penelitiannya selama dua tahun untuk tugas akhirnya dalam menempuh studi di bidang sastra Universitas Airlangga.

Semua itu berangkat dari kegelisahannya atas materi sejarah yang dipelajarinya sejak bangku SD hingga perguruan tinggi tentang makam-makam Islam yang sezaman dengan Kerajaan Majapahit.

Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati.

Nama Sunan Kalijaga sangat terkenal dalam Babad Tanah Jawi. la dipandang sebagai salah satu dari sembilan wali yang banyak memperlihatkan mukjizat. Dalam Babad Tanah jawi, dikatakan bahwa Sunan Kalijaga waktu muda bernama Raden Said. ia adalah putra bupati Wilatikta, saudara Ni Gede Manila, jadi ipar Sunan Ngampel.

Sebelum bertobat, ia banyak berbuat kejahatan. Namun, semenjak bertemu dengan Sunan Bonang, ia menjadi orang yang sangat saleh, bahkan menjadi salah satu dari wali sembilan. Mukjizat yang dipertunjukkan di antaranya adalah penciptaan saka tal atau tiang tal masjid Demak. Nama Sultan Kalijaga dihubungkan dengan saka tal masjid Demak. Kisah tentang saka tal ini sangat menarik perhatian.

Dari uraian di atas, telah terbukti bahwa Sunan Ngampel alias Bong Swi Hoo menikah dengan Ni Gede Manila, anak perempuan Gan Eng Cu, Kapten Cina di Tuban. Sunan Ngampel adalah ipar Raden Said/ Sunan Kalijaga. Sekarang, kita perhatikan apakah kapten Cina Gang Eng Cu alias Arya Teja mempunyai putra yang dapat diidentifikasikan dengan Raden Said/Sunan Kalijaga. Gan Eng Cu memang mempunyai seorang putra bernama Gan Si Cang. Setelah Jin Bun/Raden Patah berhasil menaklukkan kerajaan Majapahit pada tahun 1478, Kin San alias Raden Kusen (Adik Raden Patah), selaku orang yang paling berkuasa di Semarang, mengangkat Gan Si Cang (Sunan Kalijaga) sebagai kapten Cina. Dalam kerja sama dengan Gan Si Cang ini, Kin San berhasil membangun kembali penggergajian kayu dan galangan kapal Semarang yang sudah sangat terbengkalai.

Pada tahun 1481, atas desakan para tukang kayu di galangan kapal Semarang, Gan Si Cang, selaku kapten Cina, menyampaikan permohonan kepada Kin San untuk ikut membantu penyelesaian Masjid Demak. Permohonan itu dilanjutkan kepada Jin Bun sebagai penguasa tertinggi di Demak Jin Bun menyetujuinya. Demikianlah pembangunan masjid Demak itu diselesaikan oleh tukang-tukang kayu di galangan kapal Semarang, di bawah pimpinan Gan Si Cang selaku Kapten Cina. Saka tal masjid Demak dibuat menurut konstruksi tiang kapal, tersusun dari kepingan-kepingan kayu yang sangat tepat dan rapi. Tiang tatal yang demikian itu lebih kuat menahan angin laut atau topan daripada tiang kayu utuh.

Tidaklah jauh dari kebenaran jika pembuatan tiang itu diakukan kepada Gan Si Cang sebagai kapten Cina di Semarang, yang menggerakkan tenaga kerja tukang-tukang kayu itu di galangan kapal Demikianlah, Sunan Kalijaga yang waktu mudanya bernama Raden Said itu dapat diidentifikasikan dengan Gan Si Cang, kapten Cina Semarang, putra Gan Eng Cu alias Arya Teja di Tuban.

Tentang hubungan antara Sunan Gunung lalu dan Sum Kalijaga dapat dikatakan seperti berikut.

Dalam Serat Kanda, terdapat berita bahwa Sunan Cirebon ikut serta membangun masjid Demak sebagai salah satu di antara Sembilan Wali. Berita dari klenteng Sam Po Kong di Talang memberikan uraian yang jelas tentang Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayat Fatahillah. Karena berita Tionghoa dari klenteng Sam Po Kong di Talang itu merupakan kronik atau peristiwa-peristiwa penting yang bertalian dengan klenteng itu sendiri, maka beritanya dapat dipercaya.

Pada tahun 1526, armada Demak singgah di pelabuhan Talang, di bawah pimpinan panglimanya dan Kin San. Seperti telah kita ketahui, Kin San adalah orang penting di Semarang, Panglima tentara Demak dan Kin San memutuskan perjalanannya ke Sarindil, tempat bertapa Tang Eng Hoat. Bersama dengan Tan Eng Hoat, Imam Masjid Sembung, tentara Demak masuk Sembung tanpa mengalami perlawanan apa pun dari pihak penduduk.

Ternyata bahwa panglima tentara Demak dan pembesar Kin San bertindak sebagai utusan Sultan Trenggana; untuk memberikan gelar kepada Tan Eng Hoat. Gelar yang diberikan ialah Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi (Maulana Ifdil Hanafi). Berita dari klenteng Sam Po Kong di Talang itu terbukti cocok dengan berita dari klenteng Sam Po Kong di Semarang.

Berita itu bunyinya : ”Kin San yang sudah tua, karena pandai berbahasa Tionghoa, ikut dengan armada Demak yang pergi ke barat untuk menundukkan orang-orang Tionghoa Islam di Sembung.” Tarikh tahunnya juga 1526.

Pada tahun 1552, jadi 26 tahun kemudian, panglima tentara Demak itu datang lagi di Sembung sendirian. Tan Eng Hoat, alias Maulana Ifdil Hanafi, terheran-heran. Katanya, panglima tentara Demak itu sudah pernah menjadi raja di Banten. Ia kecewa melihat perang saudara antara keturunan Jin Bun. Ia segan tunduk kepada Sultan Pajang, karena di Kesultanan Pajang agama Islam madzhab Syi’ah yang dianut. Panglima tentara Demak itu bermaksud menghabiskan sisa hidupnya dengan bertapa di Sarindil. Haji Tan Eng Hoat meminta kepada bekas Panglima Demak untuk membimbing masyarakat Tionghoa Islam di Sembung, dan mendirikan kesultanan seperti Jin Bun di Demak. Tidak ada jalan lain untuk menjamin kelangsungan masyarakat Islam Tionghoa di Sembung, walaupun bahasa Tionghoa dan madzhab Hanafi terpaksa dilepaskan seperti di Demak. Bekas panglima tentara Demak setuju.

Pada tahun 1552, bekas panglima tentara Demak itu mendirikan kesultanan di Cirebon dengan dukungan orang-orang Islam Sembung. Pada tahun 1553, ia menikah dengan “putri Cina”, anak Imam Sembung Tan Eng Hoa Setelah kesultanan berdiri, bekas panglima Demak itu sendiri yang menjadi sultan pertama. Tan Eng Hoat menjadi orang kedua dengan gelar, Pangeran Adipati Wirasenjaya. Sultan Cirebon yang pertama wafat pada tahun 1570, dan digantikan oleh putranya, yang lain, dari putri Cina Karena sultan kedua itu masih sangat muda, ia “diembani“ (Diembani = diasuh) oleh saudara sepupu ibunya, yang bernama Tan Sam Cai alias Tumenggung Arya Dipawiracula.

Sultan Cirebon yang pertama kali ialah Sunan Gunung Jati, Demikianlah Sunan Gunung jati itu sama dengan panglima tentara Demak pada zaman pemerintahan Pangeran Trenggana.
Baru kemudian, sesudah Demak berhasil mengalahkan Sunda, Panglima tentara Demak itu diangkat menjadi Sultan Banten. Kesultanan Cirebon didirikan baru pada tahun 1552 oleh Sunan Gunung Jati. Demikianlah perkenalan Sunan Kalijaga, alias Gan Si Cang, Kapten Cina di Semarang, tidak mungkin terjadi di Cirebon, seperti diberitakan dalam Babad Tanah Jawi/Serat Kanda, Perkenalan antara Gan Si Cang dan Sunan Gunung Jati berlangsung di Semarang. Pada waktu itu, Sunan Gunung Jati dalam sebagai Panglima Tentara Demak, dan Gan Si Cang sebagai Kapten Cina di Semarang. Pada hakikatnya, peristiwa itu tidak penting, yang penting ialah menafsirkan siapa sebenarnya panglima tentara Demak, yang singgah di Sembung dalam perjalanannya ke barat, kemudian pada tahun 1552 kembali lagi ke Sembung dan mendirikan kesultanan Cirebon dengan julukan Syarif Hidayat Fatahillah atau Sunan Gunung Jati itu.

Jika kita memperhatikan tarikh tahun kunjungan armada Demak di Sembung, dan kemudian menghubungkannya dengan serbuan Majapahit yang kedua kalinya oleh tentara Demak kiranya kita dapat memperoleh sekadar penjelasan. Tarikh tahunnya ialah 1526. Tarikh tahun itu jatuh dalam masa pemerintahan Sultan Trenggana, yang naik takhta kerajaan pada tahun 1521. Sultan Trenggana memerintah sampai tahun 1546. Pada tahun 1527, Sultan Trenggana mengirimkan tentaranya ke Majapahit di bawah pimpinan putranya sendiri yang bernama Toh A
Bo. Tentara Demak berhasil menduduki keraton Majapahit.

Demikianlah dapat ditafsirkan bahwa setelah tentara Demak pulang dari perjalanannya ke Sembung, setahun itu tidak ada perubahan dalam pimpinan ketentaraan. Maka, panglima tentara Demak yang berkunjung ke Sembung itu sama dengan panglima tentara Demak yang berangkat ke Majapahit pada tahun 1527, yakni Toh A Bo. Jadi, Syarif Hidayat Fatahillah alias Sunan Gunung Jati adalah Toh A Bo, putra Tung Ka Lo alias Sultan Trenggana.

Sumber :

1. https://www.jia-xiang.biz/orang-tionghoa-membawa-islam-ke-indonesia/

2. Prof. Slamet Mulyana “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara”

Hal. 98-103.

Exit mobile version