Atlantis Indonesia

Eksistensi Ruh part II …

Eksistensi Ruh part II

Dalam artikel sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa ternyata kehidupan seluruh makhluk hidup di dunia ini saling terkoneksi satu sama lain. Kesaling berkaitan itu menyebabkan hukum sebab-akibat terjadi, yang dimana jika kita memulai sesuatu, pasti akan ada akhirnya, akhir yang sesuai dengan tindakan yang diberikan manusia kepada alam, apakah buruk atau baik, semuanya menjadi bumerang untuk diri sendiri (karma), tapi sesungguhnya mau apapun nasibnya, tidak ada satu kekecewaan pun yang harus kita ratapi kepada Tuhan semesta alam, karena mau baik atau buruknya nasib, itu merupakan rencana terbaik bagi setiap individu ciptaan-Nya.

Ketika manusia sudah menyadari hingga kesadaran ditingkat itu, maka ia akan berhati-hati dalam memberi perlakuan terhadap sesama maupun terhadap alam. Dia akan waspada dan mawas diri, karena sudah paham benar bagaimana ucapan dan tindakannya mempengaruhi nasibnya sendiri. Tapi sering diantara kita yang sudah mencapai kesadaran tersebut, masih belum mengerti apa itu waspada dan mawas diri. Karena tidak tahu, kita mengekspresikan kewaspadaan dengan tidak peduli hingga membenci.

Banyak yang mengartikan suatu ungkapan dengan mentah-mentah. Sebuah contoh sederhana, apa benar anda mengerti arti puasa? Apakah puasa hanya menahan tidak makan dan tidak minum hingga matahari tenggelam saja? Lalu, bagaimana orang-orang yang berada di Norwegia berpuasa yang siang nya lebih lama dari tempat anda hidup sehari-hari? Bagaimana mereka makan dan minum jika matahari yang tenggelam hanya hitungan menit langsung naik lagi? Pertanyaan yang sebenarnya adalah apa arti puasa itu sendiri.

Karena kita tidak tahu arti sebenarnya puasa itu mengendalikan diri, sehingga banyak dari kita yang berpuasa tapi tidak mengendalikan diri. Contoh ketika hendak berbuka, segala macam makanan harus ada, harus lengkap. Ketika kucing lewat minta makanan anda yang berlebih, anda tidak peduli sama sekali. Apakah anda menyiram tanaman anda ketika berpuasa? atau anda terlalu lelah melakukan itu karena anda berpuasa? Apakah menyingkirkan paku untuk keselamatan orang lain di jalan terlalu lelah pula dilakukan jika sedang berpuasa? Apakah menolong orang lain saat berpuasa merupakan tindakan buang-buang energi? Percayalah, gaya hidup yang sering sekali menumpuk harta berlebih itu hanya dalam kehidupan manusia saja. Lihat hewan melata di sekitar kita, mereka tidak tahu hari ini hendak makan apa, begitu ada buruan, langsung ditangkap dan dimakan. Sesuai dengan kebutuhannya saat ini. Masalah nanti malam dan esok hari? mereka tidak tahu, tidak pula berencana untuk menumpuk makanan. Mereka hanya menjalani hidup sesuai dengan sistem rantai makanan. Karena berjalan sesuai nasibnya, apakah ada beban dalam hidup mereka? Tidak! Mereka bahagia, karena mereka berserah diri kepada Sang Maha Pencipta. Makan, punya anak, mati, mereka tidak merencanakan itu semua melainkan menerima nasib yang diberi oleh Yang Maha Kuasa. Apakah kita makhluk yang berakal sulit untuk mengendalikan diri seperti mereka? Seharusnya kita jauh lebih terpuji dari makhluk lain.

Kembali kepada puasa, seluruh umat manusia di perintahkan berpuasa yang artinya adalah mengendalikan agar tidak menjadi manusia yang melampaui batas. Sebenarnya, perintah mengendalikan diri itu bukan hanya padasaat dibulan Ramadhan saja, tapi setiap hari. Hanya saja, di bulan Ramadhan ada alasan sendiri yang berbeda dengan bulan lainnya (baca artikel : Mengapa di Bulan Ramadhan di Wajibkan Berpuasa). Perintah untuk mengendalikan diri itu sendiri merupakan pengejawantahan termudah untuk mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi (spiritual).

Manusia pancaindera kebanyakan sering sekali mengartikan puasa secara mentah-mentah. Yakni, tidak makan, tidak minum, banyak beribadah tanpa meneliti alasan logis nya mengapa harus melakukan itu semua. Padahal, dengan mengetahui hal tersebut tidaklah rugi, justru dapat membantu kita semua menuju kebersaksian yang meyakinkan. Karena banyak perintah dan ungkapan yang diterjemahkan mentah-mentah oleh manusia, sehingga esensi sebenarnya menjadi semakin tidak terwujud. Makanya, tidak heran banyak yang mengaku puasa tapi masih berlebihan dalam hidupnya. Belum puas juga dengan keadaan hidupnya yang sekarang, banyak orang menjalani ibadah puasa dengan tujuan agar segera mendapatkan jodoh, dimudahkan rezeki, masuk surga, bahkan berpuasa agar mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat yang dengan kata lain, anda tidak terima jika menerima nasib buruk. Padahal, esensi sebenarnya berpuasa itu hanyalah untuk beribadah kepada Allah SWT, bukan untuk tujuan lain. Ternyata, banyak arti sebenarnya puasa yang tidak terwujud ya. Ini baru satu contoh sederhana saja.

Ujian dari Allah tidak berhenti sampai anda sadar saja bahwa tindakan anda mempengaruhi nasib yang kemudian membuat anda jadi berlebihan menjalani syariat tanpa menerjemahkannya lebih dalam (menerjemahkannya masih mentah-mentah). Sebetulnya, hal ini sangat wajar, kita cenderung ingin selalu berada dalam pemikiran bahwa tindakan kita sesuai dengan jalan yang lurus, tapi karena keterbatasan dalam berpikir yang disebabkan kurangnya ilmu dan pengalaman, wajar sekali untuk berada di jalan yang lurus, kita mengikuti arus yang banyak dilakukan oleh mayoritas karena saking tidak tahunya. Makanya penting sekali bagi umat manusia untuk menyadari eksitensi ruhnya untuk solusi memudahkan hidup anda.

Hasil dari terus-terusan mengartikan secara mentah-mentah tanpa berpikir adalah lama-kelamaan secara tidak sadar akan menjadi ajaran dan doktrin baru. Maka dari itu, wajar kalau banyak sekali oknum radikal dan teroris yang mengaku Islam menerjemahkan ayat Al-Qur’an secara mentah-mentah (maksudnya, jika Al-Qur’an mengatakan bunuh, ya bunuh) padahal tidak seperti itu.

Tulisan ini tidak ada sama sekali penghakiman kepada pihak manapun, melainkan yang kita bicarakan adalah sebuah pemakluman dan pemakluman. Dengan mencoba mengerti kenapa banyak orang yang sadar akan hukum sebab-akibat tapi tidak seluruhnya paham apa arti hidup mawas diri tersebut, kita menjadi yakin bahwa terhadap sesama manusia itu seharusnya saling memaklumi. Ini merupakan sifat manusia beriman. Bahaya memupuk ketidaktahuan dan kebutaan berpikir menerjemahkan segala sesuatu akan membuat anda cenderung kembali lagi turun ketingkat kesadaran yang lebih rendah. Dalam hal ini, sifat yang paling mempengaruhi anda agar turun lagi adalah sifat sombong, tidak menghargai hidup orang lain atau tidak bertakzim.

Ketakziman Adalah Sifat Manusia Beriman

Dalam menuju kesadaran kekuatan ruh anda, setelah memahami benar hukum alam semesta adalah hukum sebab-akibat, untuk menerapkan pemahaman tersebut tentu tidak mudah jika anda masih bersikap sombong, dan tidak mempedulikan hidup orang lain. Anda mungkin banyak melakukan ibadah, anda sering mengucap doa, salawat, zikir, dan lain sebagainya. Tapi anda tidak begitu peduli nasib orang lain yang sangat membutuhkan anda atau bahkan anda tidak peduli dengan alam sekitar yang sudah jelas anda mampu membantu agar menjadi lebih baik, seperti contoh melihat kucing minta makan diatas. Anda begitu sibuk dengan ritual sendiri sebab menerjemahkan syariat secara mentah-mentah. Anda selalu merasa benar sendiri, seolah-olah tiada kelakuan orang lain yang lebih benar dari anda hanya karena anda telah menghapal ayat Al-Qur’an. Tiada ucapan orang lain yang anda terima hanya karena ucapan mereka adalah sesuai kenyataan. Dan tidak terima nasihat dari seseorang yang tidak ahli dalam bidangnya. Alhasil, sifat-sifat ini menciptakan pemahaman yang sangat tidak menjunjung tinggi toleransi. Kalau semua manusia terus-terusan memupuk sifat sombong yang merasa apa yang dilakukannya lebih benar dari orang lain, maka, tak heran banyak manusia yang mengejar kekuatan eksternal supaya ia selalu dalam pemikiran bahwa “saya ada di lingkaran yang benar”. Dalam tulisan diatas mungkin anda sudah mulai bertanya-tanya, bagaimana caranya supaya kita semua dapat mengendalikan diri, menghargai hidup orang lain, dan bagaimana caranya bersih dari godaan keras untuk berbuat hal buruk.

Bertakzim mempunyai arti lebih dalam dari menghargai orang lain dan bukan hanya sekadar sampai disitu. Bertakzim berarti merendahkan diri serendah-rendahnya dihadapan Tuhan, dan menyadari bahwa manusia sama-sama ciptaan-Nya yang diciptakan dengan tujuan yang sama dengan anda. Bertakzim juga menyadari bahwa sebagai sesama ciptaan-Nya yang mempunyai tujuan yang sama, akan membantu sesama dalam mencapai tujuan diciptakan, bukannya saling menghambat agar menjadi pemenang. Terkadang kita salah mengartikan kata “berlomba-lomba lah dalam kebaikan”. Perintah itu adalah benar. Padahal yang dimaksudkannya adalah supaya manusia menjunjung tinggi kebaikan dalam keadaan apapun, tapi karena menerjemahkannnya mentah-mentah sehingga “berlomba-lomba dalam kebaikan” jadi berarti sesama manusia saling berkompetisi. Alhasil, masing-masing tidak ada ketakziman, saling menganggap diri benar dan orang lain salah. Bukan hanya itu, diri yang tiada bertakzim akan mudah tergoda melakukan hal buruk. Banyak kasus dalam hidup ini yang bermula dari ketiadaannya takzim dalam diri. Diri yang tidak mengerti takzim akan mencari kekuatan eksternal untuk selalu mendukung praduganya bahwa dirinya berada dalam lingkaran yang benar. Kekuatan eksternal itu seperti harta, gelar dan jabatan. Makanya polisi lebih tinggi derajatnya dari satpam, dokter lebih tinggi derajatnya dari pedagang, karyawan konvensional lebih tinggi derajatnya dari asisten rumah tangga, jabatan direktur lebih tinggi derajatnya dari pemulung. Sekiranya, hal-hal inilah yang terlihat oleh pancaindera, padahal, dilihat dari perubahan yang dihasilkan, pemulung, asisten rumah tangga, pedagang, cleaning service dan lain sebagainya untuk alam lebih berarti dibanding jabatan lainnya yang kurang bermanfaat untuk alam semesta. Pertanyaannya, mengapa orang-orang ingin meninggikan derajat di depan sesama ciptaan-Nya kebanding mengkualitaskan diri dihadapan Sang Maha Pencipta? Kenapa sifat masih tidak ikhlas menerima ujian buruk masih ada ketika anda sudah tahu bahwa hukum alam adalah hukum karma? Mungkin mulai saat ini, kita harus menanamkan ketakziman dalam diri kita, mau apapun jabatan orang-orang disekitar kita, tidak ada prasangka buruk apapun karena semuanya sama dihadapan Tuhan YME.

Ketika manusia sudah berprasangka buruk dan menilai orang lain tidak jauh lebih baik darinya, berarti anda telah berprasangka buruk pula dengan pemberian hidup dari Tuhan (tidak bersyukur). Hal itu ditandai dengan mulainya ada kegelisahan, ketakutan, dan prasangka-prasangka negatif lainnya yang anda buat sendiri.

Secara tidak sadar anda memandang hidup semuanya tentang perlombaan, perlombaan siapa yang lebih memegang kekuasaan paling banyak dialah yang paling benar. Tentu saja anda merasa tidak tenang, tidak bahagia. Tidak sebahagia hewan dan tumbuhan yang begitu tunduk pada Tuhannya. Maka bertakzimlah! sadari bahwa diri ini ciptaan-Nya. Sekali anda memilih hidup bertakzim, sebenarnya anda telah menuju hidup ketingkat spiritual yang lebih tinggi. Karena ujiannya akan lebih banyak dan berat, hanya untuk membuktikan bahwa anda benar-benar bertakzim pada kehidupan ini. Ketika anda bertakzim pada hidup ini, anda tidak lagi melakukan sesuatu berdasarkan nilai untung dan rugi, dan tidak memandang makhluk hidup dari kekuatan eksternalnya. Rasa ingin menilai dan menghakimi semakin tidak kenal dan juga semakin tidak mampu melakukan hal buruk lainnya. Bertakzim kepada orang lain berarti sadar betul bahwa ruh kita maupun ruh orang lain sama-sama sedang menuju sebuah proses agar menjadi sempurna.

Bersambung………..

Exit mobile version